Indramayu, ( Transtwonews) – Nama seorang bupati seharusnya menjadi simbol kepemimpinan, bukan alat dagang. Namun di Indramayu, realitas berkata lain. Nama Bupati Lucky Hakim, belakangan ini, justru dijadikan komoditas oleh segelintir oknum yang mencari keuntungan pribadi. Mereka datang dengan mengaku sebagai “orang dekat bupati”, memanfaatkan status sosial, hingga menjual “restu politik” seolah sah dan resmi.
Ulah mereka bukan sekadar iseng. Oknum tersebut berani menargetkan banyak kalangan: kepala desa, camat, ASN, PNS, hingga kontraktor. Modusnya pun beragam. Mulai dari menjual kupon pertandingan, menyebarkan proposal kegiatan, hingga mencatut nama bupati diduga meminta jatah proyek pemerintah.
Fenomena ini akhirnya membuat Lucky Hakim angkat bicara. Jumat, 3 Oktober 2025, sebuah video singkat beredar serentak melalui status WhatsApp hampir seluruh ASN dan PNS. Isinya tegas, blak-blakan, dan sekaligus menyiratkan kejengkelan seorang kepala daerah.
” Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Mensikapi banyak akhir-akhir ini orang yang mengatasnamakan, orangnya bupati, suruhan atau orang dekatnya bupati yang dagang-dagang nih misalnya, dagang-dagang kuponlah. Katanya disuruh bupati, suruh beli kupon pertandingan ini, pertandingan itu, atau nyebarin proposal dan lain-lain. Jadi saya tegaskan tidak. Itu bukan suruhan saya, bukan orang dekat saya. Saya tidak pernah menginstruksikan apa pun untuk membeli apa pun kecuali ada surat resmi yang ditandatangani oleh saya, semacam surat edaran atau apa. Jadi buat siapa pun, khususnya masyarakat, ataupun kepala desa, ataupun camat ataupun apa, kalau ada yang ngaku-ngaku orangnya bupati, suruhannya bupati, saya pastikan itu bohong. Dan itu termasuk salah satu upaya penipuan. Terima kasih,” ujar Lucky Hakim.
Kata-kata itu disampaikan lantang, seolah menjadi pukulan telak bagi para oknum yang selama ini bermain di balik nama besar bupati
Namun, persoalannya tidak berhenti di sana. Dari berbagai sumber di lapangan, praktik jual nama bupati ini bukan hal baru.
Modus ini kerap terjadi di banyak daerah, dan Indramayu tampaknya tidak lepas dari pola lama tersebut. Kupon pertandingan hanyalah pintu masuk. Proposal kegiatan menjadi pintu kedua. Puncaknya, proyek-proyek bernilai miliaran rupiah yang bersumber dari APBD ikut diperebutkan dengan mencatut nama kepala daerah.
Seorang kontraktor lokal yang minta diprivasi indentitasnya blak-blakan menyebut, ia pernah diminta setoran oleh seseorang yang mengaku dekat dengan lingkaran bupati.
“Katanya kalau mau aman, proyeknya lancar, harus setor. Padahal bupati sendiri mungkin tidak tahu apa-apa,” katanya.
Fenomena pencatutan nama pejabat bukan kali pertama muncul di Indramayu. Praktik semacam ini sudah menjadi bagian dari budaya patronase politik. Nama pejabat, apalagi kepala daerah, dianggap sebagai “stempel sah” yang bisa membuka jalan ke mana saja: proyek, jabatan, hingga akses ekonomi.
Akademisi lokal menilai, klarifikasi Lucky Hakim penting, tapi tidak cukup. “Kalau hanya lewat video, itu berhenti pada tataran retorika. Harus ada langkah hukum yang konkret. Karena kalau sudah ada pengakuan dari bupati, berarti beliau tahu ada oknum yang bermain. Pertanyaannya: kenapa tidak dilaporkan? ” Ujar Tomsus Sekjen FPWI.
Pernyataan Lucky memang menegaskan bahwa semua itu bohong. Namun, di mata publik, langkah tersebut masih menyisakan ruang kritik. Beberapa tokoh masyarakat mempertanyakan, mengapa seorang kepala daerah berhenti pada imbauan?.
“Kalau sudah jelas-jelas itu penipuan, maka harus ada tindakan. Laporkan ke aparat, beri sanksi, atau buat kanal aduan resmi. Jangan hanya disebarkan lewat WhatsApp,” ujar Tomsus.
Disisi lain, Pernyataan ini sejalan dengan komentar pengacara lokal. Menurutnya, praktik pencatutan nama bupati bisa masuk kategori penipuan atau bahkan pemerasan. “Kalau ada bukti, ini bisa langsung diproses hukum. Jangan sampai publik menganggap bupati hanya sekadar pencitraan dengan video klarifikasi,” ujarnya
( Kamal )