Indramayu ( Transtwonews ) – Kejadian viral di Indramayu yang menampilkan realitas memilukan anak-anak kelas 9 dan 10 yang tidak bisa membaca dan menulis adalah cermin dari sebuah kegagalan fundamental dalam sistem pendidikan kita.
Menurut Paulo Freire adalah seorang filsuf dan pendidik terkenal dari Brasil bahwa : pendidikan sejatinya merupakan alat pembebasan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan keterasingan. Ketika pendidikan hanya terpaku pada kehadiran fisik dan formalitas tanpa menunaikan fungsi esensialnya, maka ia kehilangan makna dan tujuan hakikinya.
Kasus anak-anak yang tidak mampu menguasai fungsi paling dasar dalam pendidikan ini menuntut kita untuk menelaah bukan hanya aspek teknis sistem pendidikan, tetapi juga dimensi etis dan eksistensial. Pendidikan harus hadir sebagai ruang transformasi di mana setiap anak diberdayakan untuk menjadi individu yang mandiri, kritis, dan bermartabat. Tanpa kebutuhan ini terpenuhi, maka indikator keberhasilan sekolah adalah sekadar angka statistik kosong yang mengelabui kenyataan.
Sebagai contoh nyata, di Indramayu, seorang siswa kelas 9 dan 10 yang terjaring operasi anak bolos sekolah tidak hanya tidak mampu membaca, tetapi juga tidak mengetahui fungsi dasar huruf dan angka dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi gambaran realitas yang selama ini tertutup dan jarang diperhatikan. Dalam perspektif eksistensialisme, kondisi ini menggambarkan keterasingan seorang anak dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi arena penciptaan makna dan eksistensi diri.
Solusi atas masalah ini membutuhkan pendekatan holistik dan pragmatis. Pertama, perlu dilakukan *pemetaan ulang dan pendataan menyeluruh* terhadap kemampuan dasar setiap siswa, khususnya dalam membaca dan menulis. Ini bukan untuk menghukum, melainkan untuk membimbing dan menuntun mereka secara personal sehingga tidak ada yang tertinggal.
Kedua, *program remedial dan literasi dasar* harus diintegrasikan dalam sistem pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan tak boleh bersifat eksklusif, melainkan inklusif dan adaptif, mampu menangkap ragam kebutuhan siswa. Di sinilah peran guru diperkuat sebagai fasilitator dan mentor yang memahami karakter serta medan sosial anak didiknya.
Ketiga, perlu adanya *kolaborasi lintas sektor* antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem pembelajaran yang suportif. Pendidikan tidak semata tanggung jawab institusi, tetapi juga komunitas yang menjadi lingkungan tumbuh kembang anak.
Keempat, memanfaatkan teknologi digital sebagai alat bantu pembelajaran dan literasi dapat menambah daya jangkau program pendidikan, khususnya untuk anak-anak yang berisiko putus sekolah atau terhambat aksesnya.
Akhir kata, kasus ini adalah panggilan moral bagi seluruh komponen bangsa. Pendidikan sejatinya bukan hanya ritual formalitas, melainkan proses pencapaian kebebasan dan kemanusiaan yang utuh. Jika kita gagal menjadikan anak-anak ini cerdas dan berdaya, maka kita gagal sebagai penjaga masa depan bangsa.
( Kamal )